Ketika Hujan

Tiba-tiba saja hujan membuka ruang, memberi sedikit kesempatan dan waktu untuk kamu dan aku berteduh pada tempat yang sama.

Hujan setidaknya pernah menyaksikan kita didepan toko tua bersama para pengendara lain yang setengah basah dan hanya diam berdiri dalam rasa dingin.

Sebenarnya kala itu, aku lebih banyak menyaksikan kamu ketimbang melihat pedagang yang sibuk berkemas dan bergegas menutup kios-kios kecilnya atau pengendara roda dua yang sibuk membuka jas hujan dengan muka menggigil.

Hujan, hentilah sedikit, karena aku mulai kesulitan untuk berbisik, terbata-bata menyelsaikan satu kalimat sedangkan dia hanya diam sendiri hingga akhirnya kamu usai juga dalam ujung tanda tanyaku.

Sejak itulah, sejenak hujan menumpang dalam perasaanku, setiap datangnya selalu mengentalkan rindu.

Rindu yang biasa menelangsakan raga, ketika wujudmu tak nyata. Maka kembalilah seperti pelangi yang datang tak terkira setelah hujan lalu, meski tanpa sahut terpaku, dan sekelumit kisah bisa kuceritakan padamu saja.

YOU always whipping arround my mind.
Fittrie Meyllia

 

Rahasia Senja

Tak seperti biasanya kamu menyapa, dalam senja yang sudah hampir menguning. Hingga suara burung Ibis bagai simfoni yang seolah ikut menemani langkah kita diantara butir-butir debu pantai.

Tapi kali ini, cukuplah kamu hanya merangkul pundakku saja-erat, tak seperti biasanya ketika kita berjalan hampir beriringan namun tak pernah sejajar. Kali ini, kamu,tak sekalipun lengah dari dekapan itu.

Tak seperti yang biasa kita duduk dan kita berbincang dalam ruang tua yang hampir pongah, kali ini kita hanya duduk bersandaran dihadapan, sungguhpun ini kali pertama kamu menyanggahan kepala di atas pundakku dengan sangat tenang. Kali ini, kamu sekalipun tak mengeluh dengan air yang sesekali mengenai kaki-kaki kita.

“Mengapa tak kita sudahi saja elegi ini? Yang membuatmu seolah terpasung dalam rangka besi seperti mayat yang belum mati. Kita sudah tahu, bahwa cinta tak semudah menoleh ke kiri dan ke kanan, duduk dan berjalan, kenyataanya tak sesederhana itu, cinta kita lebih rumit bahkan dari menulis kisah pada lembaran yang usang, yang kelak siap kita baca menjadi buku tua.”

Aku menatapnya, membiarkannya tegak lepas dari sanggahanku, tanpa sengaja air mata yang sudah kusiapkan untuk satu peristiwa kelak ketika kami menyebutnya sebagai kebahagian yang hakiki, jatuh tak terkendali. Mengapa ungkapan murahan seperti ini bisa lepas dari takaran pikiran dan ucapanmu? Setidaknya itulah yang terekam dalam aku.

“Jika cinta kita tak sesederhana itu, lalu kau sebut apa setiap senyuman yang kau lontarkan sembari mengusap kepalaku hingga nyaris tertidur..
Jika cinta kita tak sesederhana itu, lalu kau sebut apa setiap kamu berlari di bawah deras hujan dan aku menunggu hingga tak sadar waktu..
Jika cinta kita tak sesederhana itu, lalu kau sebut apa setiap nada yang kau petik, dan lagu yang kumainkan dalam gelak tawa, dan kita tahu persis seperti apa waktu itu..
Jika cinta tak sesederhana itu, mengapa kita berada disini, bersama,”

Kali ini kamu hanya tersenyum dengan tatapan yang paling tenang yang pernah aku saksikan, meskipun itu hanya untuk menyembunyikan bagaimana kamu sama terpukulnya dengan aku.

“Kita hanya belum mau tahu, belum mau untuk mengerti bahwa itu hanya usapan manis yang kelak menjadi kenangan dan tidak akan pernah bisa kita kembalikan atau hanya sekedar me-reka ulang di hari tua, karena kamu-di hari yang indah nanti-akan dihadiahkan oleh Sang Penyayan seorang yang tak perlu lagi alasan untuk mencintaimu seutuhnya; dan soal kisah kita, waktu hanya menunggu kita untuk dewasa dan siap untuk melupakkannya.”

Kamu benar, ini semua tiadalah sesederhana seperti hari-hari yang pernah kita nikmati bersama.

Hidup tak hanya butuh cinta, kelak akan ada satu cara dimana kita bisa saling melupakan, meskipun di waktu yang sangat terlambat. Tapi kini, bahkan untuk berusaha mendengar apa yang baru saja aku dengar, tiadalah kuasaku untuk tidak terluka-dalam, dan betapa berantakannya perasaanku, terseok, tesungkur ketika itu.

Kamu benar, bahwa luka hari ini tidak akan selamanya sama, waktu akan bekerja untuk mereduksi sakit yang amat dahsyat, meskipun dalam elegi itu, kamu masih bersemayam.

Tapi seandainya saja aku memiliki waktu yang tak hanya ku khawatirkan untukmu, seandainya saja luka pun masih bisa ku nikmati, ingin kubuang saja kamu dari setiap sudut pikiranku,semampu aku; bahkan hari ini.

Baiklah, biarkan ini menjadi rahasia langit. Ini adalah pilihan dimana kita harus mengakhiri sebelum memulai kembali, karena sampai kapanpun, kita hanya bernyanyi pada nada yang berbeda.

Meskipun demikian, biarlah elegi ini kita nikmati dalam sisa senja hari ini, karena esok akan menjadi cara bagaimana waktu menunjukkan awal dari yang seharusnya kita mulai sejak empat tahun yang lalu, menjadi catatan dalam setiap sinar yang menyentuh setiap baris gelombang.

Image

Biarkan ombak dengan ombak tetap berkejaran tanpa henti, dan kelak kita akan punya waktu kembali ke pantai ini-menyaksiannya sama seperti saat ini, meski saat itu sudah sangat senja, tapi langit, laut, dan angin tidak akan pernah tua.

“Hai nek, sedang apa termangu sendiri di sini?”

“Saya lupa arah jalan, bahkan lupa kemana saya harus pergi, tapi tempat ini sepertinya pernah saya datangi-entah kapan.”

“Iya, saya pun demikian. Bahkan orang yang baru saja saya temui berkata saya selalu mengunjungi tempat ini setiap hari-padahal saya tidak ingat hal itu.”

 

 

Blog at WordPress.com.

Up ↑