Ok, finally saya akan mulai berbagi soal pandangan hidup. Pilihan tentang menjadi wanita karir dan/atau wanita berpendidikan, ketika keputusan untuk merantau lagi ke negeri orang sambil mengambil Ph.D. Banyak sekali pertanyaan tentang keputusan itu. Tidak sedikit orang yang bilang “gila!”. Ya well, banyak hal yang sebenarnya ingin saya jelaskan (*bukan sebagai pembelaan sih, tapi semoga cenderung memotivasi dan yang membacanya bisa melihat dari sudut pandang berbeda). Diantaranya saya bagikan disini beserta jawaban menurut pandangan saya (terlepas dari alasan yang sifatnya lebih pribadi ya..).
Gak ada kerjaan lain, jadi ambil Ph.D.?
Hmm well, saya udah mengorbankan untuk meninggalkan satu pekerjaan sebagai “Personal Assistant of General Manager and Trainer of Trainee” yang bersalary delapan digit (belum lagi bonus travelling) di salah satu non-profit organization demi si Ph.D ini. Padahal second passion in my life setelah jadi akademisi adalah punya kesempatan gabung di NGo dengan network luas sambil travelling keliling negeri *gratis, apalagi bidangnya *saya banget (sustainable fisheries management). Ini menjanjikan, nyaman, gak bosen dan penuh tantangan. Padahal Ph.D. ini juga masih harus modal sendiri untuk keberangkatan. Tapi tenang aja, saya sekolah lagi bukan berarti “nganggur” ada sumber-sumber penghasilan dan pekerjaan yang salary-nya tentu sepadan.
Balik lagi, hidup itu bukan sekedar pilihan, itu keputusan. Dan keputusan itu saya ambil setelah ber-istikharah.
Memilih PhD karena ingin mengisi waktu kosong (*lagi)?
Selama menuntut ilmu s2 di LN atau mungkin sambil ngurus s3, aktivitas saya bagi dengan pekerjaan proyek-proyek, dari proyek sebidang sampe proyek jauh di luar bidang. Btw, emang mencari uang di lingkungan institusi atau riset itu kebahagian tersendiri dan “kebutuhan” atau ibarat sakit yang nikmat, nikmat dibalik stress deadline laporan dan presentasi.. Emang si ada yang berpikir dan meragukan “kehalalan uang proyek” wallahualam, yang penting saya kerja, dibayar sesuai perjanjian dan sebanding dengan kerjaan yang saya lakukan. Jadi ngikutin jargon yang lagi tenar zaman sekarang “bukan urusan saya”, kita cuma bisa berusaha untuk mencari rizki yang halal..emang sih ga keren kalo ditanya “kerja dimana lo?”
Yang ketika orang lain bisa jawab dengan enak ” di by CinemaPlus-3.2c” href=”#60608522″> bank
ini, di perusahaan anu” saya cuma bisa jawab ” di konsultan ini dan anu, di NGo itu, atau lagi ngerjain megaproyek di institusi”.. Ya tapi, passion saya emang ga betah kalo harus selalu melakukan aktivitas rutin 8hours/5days dengan kostum yang sama, orang yang sama, di ruangan yang sama, bahasan yang sama, kerjaan yang sama, dapet gaji di tanggal yang sama, atau mungkin menghabiskannya di tempat yang sama. Hello, you deserved almost all of your life time sit on desk? recieving the same works from your bloody boss?
Apalagi gak sejalur dengan bidang saya waktu kuliah dulu. Buat saya “sayang banget”. Tapi balik lagi, setiap orang kan punya passion dan karakter yang berbeda. Ada yang nyaman dengan pekerjaan seperti itu, ada yang nyaman berwirausaha, ada yang nyaman meneliti.
Cari aman “hidup dari uang beasiswa”?
Wow, emang si banyak yang berpikir kalo aman itu ya “beasiswa” gak usah kerja, hidup di bayarin dan kebanyakan “beasiswa” ini bikin candu loh.
Tapi gak selamanya “beasiswa membawa nikmat”. Ada beban disitu, awalnya sejak SMA, saya mengejar punya prestasi cuma ingin dapat beasiswa (*maklum bukan orang kaya). Lama-lama ketagihan karena kita, jadi punya hal yang bisa dijual dan ditukar dengan beasiswa, yaitu “kelayakan”, kelayakan kamu mendapatkannya. Bukan hasil tipu menipu, suap menyuap apalagi palsu memalsukan.
Ada beban, kalo kamu dikasih beasiswa negara, kamu punya beban ke rakyat yang udah menyisihkan sedikit uangnya tanpa disadari cuma buat “nyekolahin” kamu. Bagaimana caranya kamu, yang sudah “dibayarin sekolahnya sama rakyat” bisa berguna lagi buat rakyat. Ya miriplah sama kerja di satu institusi negara/perusahaan keluarga karena “titipan”. Ada beban kan? Minimal reputasi harus tetap baik.
Tapi, kalo disebut “cari aman” saya bakal sedikit marah. Kalo dihitung secara nominal dan material, beasiswa ini “rugi”. Saya berangkat Ph.D. aja masih pake uang sendiri kok yang belum tau diganti negara bulan kapan, pulang mengabdi pun mungkin belum dibayar sebagai pekerja juga, “I’ve decided it after sacrificing many things in my life and thinking about the opportunities and threats”. Tapi namanya juga rezeki anak soleh, ada aja jalannya (Alhamdulillahnya, di negeri tempat saya ambil Ph.D. Ada tawaran sebagai “teaching assistant” dan “research assistant”, kita bisa mengajar di universitas tersebut dan mendampingi proyek penelitian di luar kajian disertasi kita, disamping itu ada kepercayaan untuk mengerjakan proyek bilateral yang alhamdulillah didanai. Tambahan ilmu dan tambahan penghasilan tentunya, karena “dibayar”). Terus, kalau beasiswa kamu sumbernya dari luar negeri artinya “kamu punya hutang sama mereka”. Hutang yang bisa saja kamu bayar dengan jasa dan pemikiran, atau sekedar memperbaiki kependudukan negara mereka hehe..
Mengejar gelar keren yang bisa ditulis panjang di belakang nama?
Hmm, kalo memang iya, pastinya udah saya tulis di kartu nama, undangan, surat, seminar, dll. (*cuma kalau ditulis di CV, perlu). Sampai kemarin pun saya naik Bus umum masih ada yang manggil “dek, baru masuk kuliah ya? (S1. Red)” (maklum muka sama badan ga ketampangan udah master, hehe..). Kalo dulu waktu jaman kuliah s1, banyak mahasiswa yang mikir masuk jurusan apa aja yang penting s1, cepet beres penelitiannya ga peduli passionnya atau bukan yang penting penelitiannya cepet dan ga ribet, cepet lulus terus kerja. Dan pada akhirnya kerja di bidang yang bukan bidangnya.
Mungkin itu namanya *maaf mahasiswa instan yang “penting gelar”. So, ga selamanya mereka yang memilih jalan hidup melanjutkan sekolah lagi..lagi.. Karena pengen gelar. Dan ga semuanya juga kok yang kerja di luar bidang, cuma lulusan mahasiswa “yang penting gelar”. Setiap orang punya jalan hidup masing-masing, rezeki di tempatnya masing-masing. Yang perlu diluruskan adalah niatnya. Untuk apa? Siapa? Dan Bagaimana menjalaninya?
Dan bagi saya, karena ilmu itu susah didapet *apalagi saya bukan dari keluarga kaya atau yang selalu dapet tunjangan orang tua kalau pake surat sakti “masih kuliah”. Saya cuma gak mau ilmu yang udah diperoleh 4+2 dengan keringat dan darah ini sia-sia. Jangan sampai ilmu yang sudah didapat tergerus hilang dengan ilmu lain yang baru didapat, biar semua berguna di jalurnya dan ilmu kita tetap bertambah dengan ilmu-ilmu lainnya, hingga saling menunjang, sejalan, dan meluas.
Terus apa dong passion ingin kuliah terus sampe Ph.D. Lagi?
Nah ini, segmen untuk ngeles banyak banget. Sebenernya jawaban ini belum murni saya temukan. Saya cuma bisa bilang itu “kebutuhan” itu “kebahagiaan” dan itu “passion”. Kamu, cuma punya sekali hidup buat merealisasikan apa yang kamu cari dan apa yang kamu mau. Ketika ada kesempatan yang datang. Ini mau saya, keliling dunia, bukan cuma buat gaya-gaya doang (*lebih dari itu, meski niat awalnya gitu :p), kamu akan banyak dapat pelajaran tentang bagaimana dunia memandang negerimu, bagaimana kamu berkaca lewat kebudayaan yang begitu luas, bagaimana kamu menghargai negerimu dan agamamu di lingkungan minoritas, bagaimana kamu pada akhirnya mengenal Tuhanmu dengan bijaksana. Dan yang terpenting, peka atas kebutuhan dunia dan berpikir holistik atau kalau kata kerennya “out of the box”. Terlalu berharga hidup ini untuk dihabiskan dengan kondisi yang “flat” apalagi sekarang kita dituntut jadi “outstanding people” loh, udah jaman semua orang bisa mencari penghasilan, berinvestasi dimanapun, dan gak jarang nantinya kita akan bertemu dengan banyak orang asing di negeri sendiri. Kalau pikiran kita masih lokal atau cuma mengandalkan penterjemah, bisa banyak dirugikan nantinya, sebagai contoh mulai jamannya masyarakat ekonomi asia. Apa kabarnya lima-sepuluh tahun lagi? Lebih baik bisa berinvestasi dan terus berprestasi. Gak masalah kerja kantoran apalagi sambil berwirausaha asal benar punya prestasi dan jadi “manusia langka” kan? Yang suatu saat dengan lantang kita bisa bilang “bukan kita yang butuh mereka, tapi mereka yang butuh kita.”
Kalo buat saya kenapa Ph.D? Karena saya udah master, yaudah Ph.D hehe.. (Tapi serem ya? Hehe..)
Karena menuntut ilmu itu gak terbatas waktu, agama manapun pasti memuliakan orang yang menuntut ilmu. Kesempatan gak selamanya datang berkali-kali. Selagi masih muda, otak masih bisa berpikir, semoga nantinya berguna, atau meskipun hanya menyumbangkan pemikiran lewat jendela dunia yang mungkin bisa saja menginspirasi manusia-manusia lainnya di belahan dunia manapun. Dan yang terpenting bagi saya suatu kebanggaan sebagai perempuan terdidik yang kelak akan melahirkan anak-anaknya, mengurusi mereka dengan tangan sendiri. Sekali lagi menjadi wanita terdidik “Gak harus Ph.D. Saya juga nantinya mungkin akan menjadi wirausaha atau pegawai. ” Tapi yang perlu dicatat, kita harus peka terhadap dunia, baik yang berpotensi sebagai ancaman atau yang berpotensi sebagai kebaikan. Saya merasa prihatin dengan “trend kehidupan yang membahayakan” (bahasa kerennya “disitu kadang saya merasa sedih” hehe..) sebagai perumpamaan ketika di negeri sendiri bocah-bocah yang seharusnya mengenal bermain bersama malah asyik main gadget yang mungkin lama-lama sudah bisa ke salon atau naik mobil sendiri, orang-orang jadi demam pamer kekayaan dan punya “mobil” jadi kebutuhan primer. Ketika di negeri maju, anak-anak di ajarkan menyanyi dan berkreasi tanpa gadget, dan orang-orang mulai sadar pentingnya berjalan kaki, atau hidup sederhana tanpa gadget mewah, *sekalipun orang kaya. Kalau di-quote-kan kira-kira seperti ini.
“Aku ingin belajar mendidik diriku sendiri karena aku ingin mendidikmu jauh sebelum kau dilahirkan.”
*biar sedikit gaya.. Hehe..
Sekolah terus, nikahnya kapan?
Kalo ini sih “secret” hehe.. Bukan pertanyaan asing, kadang saya suka getek pengen garuk tenggorokannya, ketika ada orang yang telah mencapai sesuatu dan menjustifikasi orang lain yang belum mencapainya (bukan soal nikah aja loh, hal lainnya juga) cuma jangan menjustifikasi seseorang yang berkarir atau sekolah di luar negeri dengan jangka waktu lama, *nikah nya juga lama. Pertama, kita ga tau kan rezeki dan jodoh setiap orang? Punya hak apa kita untuk menjustifikasi dan mengintimidasi rencanaNya yang lebih baik? Hak kita, cuma mendoakannya, menasehati dalam lingkupnya. Ada yang melewati satu fase sebelum fase lainnya, bahkan fase setiap manusia berbeda. Kita hanyalah makhlukNya yang sedang berikhtiar, bukan?
Emang ada yang mau sama wanita Ph.D.? Pria juga serem kan..
Wussh caption pertanyaannya serem ya.. Sebenernya saya gak bisa komentar banyak soal ini, yang lebih tau kan mereka “si pria”. Mungkin ada yang kesereman, ke gengsian, takut dijajah, bahkan lari kocar-kacir, tapi ada juga yang berpikir sebaliknya, kualitas orang tua juga ditunjang oleh pendidikan (sekali lagi bukan soal pendidikan bergelar aja ya..segala bentuk pendidikan formal dan non formal), asal masih dalam batas koridor, kodratnya sebagai wanita, yang ketika kembali ke rumah tetap menjadi ibu dan istri yang harus punya waktu yang cukup untuk mengurus suami dan anak. Paling tidak meluangkan waktu untuk bisa antar sekolah, memantau kemajuan studi/PR anak, masak, mengurus kebutuhan rumah tangga lainnya (banyak loh). Paling tidak, keluarga juga perlu disegarkan dengan kumpul bersama, ngobrol bersama, berbagi bersama. Menikah kan bukan hanya sekedar menjawab opini publik, menormalisasikan status. Tapi menyeimbangakan dan menyalaraskan hidup, bukan?. Sudah saatnya kita ga terus berpikir reaktif dan kecanduan latah.
Apa rencana setelah Ph.D.?
Rencana? Banyak banget. Setelah buat skema jangka panjang ternyata maunya saya itu banyak banget, mulai dari mega riset dengan berbagai institusi dunia, kembali ke tanah air dan mengabdi sebagai peneliti, akademisi, dan wirausaha.. Salary? Saya ga terlalu passion dengan berapa harta yang saya dapatkan, toh harta itu akan habis juga kan? Apalagi model wanita-wanita sosialita metropolitan jaman sekarang kalo gak beli sepatu, baju, tas branded trus di upload, ya perawatan dengan harga super duper mewah, atau jalan-jalan liburan ke luar negeri. Kalo ada rezeki yang lebih, saya cuma pengen bangun rumah sendiri (buat bapa saya sih, soalnya kalo saya bisa ikut suami.. Hehe), yayasan kecil-kecilan, dan umroh/haji. Itu aja. Soal keliling dunia, itusih ga masuk hitungan dipotong dari salary yang saya dapat, *harus gratis dong. Hehe. Semuanya sudah masuk dalam list saya, dan mulai dikerjakan satu persatu. Intinya saya gak suka diperintah monoton, saya suka berkreasi dan berinovasi.
Pesan apa untuk yang ingin sekolah lagi?
Pesan saya, harus berani di banting sana sini. Harus punya mental baja. Kalau kamu ngarep beasiswa negara, harus siap “merih”. Jangan nunggu ada yang kasihan dan mau sekolahin kamu. Karena saya berani jamin, orang manapun gak akan peduli kamu pintar dan mau sekolah lagi. Ada jutaan orang latah yang ingin mendapatkan kesempatan yang sama. Kalo kamu ngarep beasiswa luar negeri, sebenarnya sama aja, kamu harus berjuang ekstra untuk ambil kesempatan yang tepat, waktu yang tepat, dengan cara yang tepat. Dan harus siap “bayar dengan hal lain”. Intinya semua gada yang gratis. Kamu harus tunjukan kamu adalah bagian dari “outstanding people”.
Masa depan kamu bukan dikendalikan dari berapa penghasilan dan apa jabatan yang kamu dapatkan nantinya. Tapi kebahagian seperti apa yang kamu dapatkan dari pekerjaan yang dibayar dan bisa menjadi sumber inspirasi/sumber rujukan bagi manusia yang lain walau satu orang saja. Berguna atau tidak adalah bagaimana mereka yang merasakan dampaknya, kita hanya berusaha menjadi berguna. Dan untuk yang tengah berkutat dengan pekerjaan kantorannya, tetap semangat. Hidup pilihan, kan? Kalau semua bersudut pandang sama dan punya passion sama, dunia tidak akan berputar. Biar alam yang bekerja lewat rantai kehidupanya. Setiap orang punya kesempatan menempati “niche” nya dan menjalankan perannya masing-masing. Agar dunia bisa seimbang. Saya hanya mencoba memberikan pandangan lain tentang pendidikan, karir, keluarga. Semoga bisa memberikan pencerahan dan motivasi yang baik.
24 Maret 2015
Fittrie Meyllia, 24 years old
On going Ph.D. Program of Life Science, Mie University, Japan
![20150324-143919.jpg](https://fittriemeyllia.wordpress.com/wp-content/uploads/2015/03/20150324-143919.jpg?w=387&h=576)