Surat Kecil untuk Oma

DSC06854Teruntuk Oma tersayang..
Sama seperti tahun sebelumnya, aku masih setia menulis surat-surat cinta untukmu, bersama doa tentunya.
Kini, sudah duapuluh empat bulan sudah Tuhan mendekapmu dalam anggun sunyi.
Mungkin ragamu kaku kini telah lebur membumi sama seperti serasah-serasah yang gugur dan jatuh.
Jalanmu telah sampai pada ujungnya, dan langkahku takkan mampu mengejarmu, yang mau tidak mau harus kuhentikan sedemikan berat.
Pulanglah dengan seraya kebahagian, yang pernah kau bagi dulu selagi mulai menggendongku hingga menyudahi tangisku. selagi akan mendekapku hingga terakhir senyummu merekah tulus.
Karena pada satu titik, manusia harus berhadapan dengan batas atara satu zona dengan zona lainnya.
Mungkin bagianmu mendahului sebelum aku, sama seperti ibuku yang mendahuluimu dulu.
Dan aku tau, ada beberapa yang harus selesai. Siap tidak siap. Rela tidak rela.
Beberapa dalam hidup tidak untuk dimengerti tapi untuk diterimakan, termasuk kepergianmu.
Bahkan perjalananku sudah mulai terbiasa dengan kepergian-kepergian semacam ini.
Jika ada diantaranya juga sedu dan sedan, tapi sepasang kaki ini mesti kembali melangkah, bukan?
Aku tahu kau pasti akan baik-baik saja, begitupun aku.
Meski kita dua berbeda, tapi bukankah Tuhan tahu segala?
Entah lewat cara dan bahasa yang mana lagi,
doaku masih sama seperti yang kukemas untuk Ibunda tercinta.

CIMG0421Teruntuk omaku tersayang…
Duapuluh empat bulan sudah, tak jua kudapati nyatamu, tapi kau masih tinggal dalam khayal.
Bukan aku tak bisa melepas. Hanya sedikit mengingatmu membuatku teduh.
Aku tak tahu apa mereka sama kehilangannya dengan aku yang terlalu.
Aku hanya ingin sesekali menyapamu saja. Ya, pada keabadian yang tak bisa dilogikakan itu.
Apa rasanya terbang tinggi dari bumi? jauh jauh pergi dari sini, jauh jauh pergi dari kekacauan ini?
Bolehkah sekali lagi aku mengadu?
tentang hari-hari letih dan kerasnya duniaku yang tak seteduh kasihmu.
tentang tempat yang tak tau kemana harus pulang.
Tentang waktu yang bosan aku tanyai kapan harus menyerah.
Bahkan ingin sesekali aku berhenti mengayuh, tapi roda bumi akan terus berputar, bukan?
Bolehkah sekali lagi aku merayu?
tentang usapan tanganmu di kepalaku yang bisa membuatku tertidur pulas.
Bahwa menikmati sayangmu berarti menunda rasa sakit atas kehilanganmu.
Dalam rentangan dimensi dan jarak, engkau terasa dekat.
Izinkan aku tersesat sebentar bersama samar-samar kenangan.
Tentang lagu ini, tentang caramu menguatkanku, membiasakanku hidup tanpa Ibu, dan tentang hal-hal sederhana lainnya yang membuatku tak memiliki alasan untuk tidak baik-baik saja.
Hidup adalah pertanyaan besar katamu, tak ada yang tahu bahkan semua orang terlalu takuk untuk tahu.
Tapi kita tak punya pilihan selain mengahadapinya, setidaknya untuk tetap ada untuk mereka yang kita sayangi tambahmu.
Tentang lagu ini, bahkan aku lupa bagaimana kau menyanyikan senandungnya.
Semoga aku tak salah menterjemahkan, sepotong jawaban dari hati yang penuh cinta.
Maka pergilah, seperti jingga senja yang tenggelam tenang pada malam. Akan aku sematkan sebongkah rindu dan doa untukmu pada sudut cakrawala seperti aromanya yang tertinggal di udara, lepas dalam hening.

Fittrie Meyllia
Tsu-shi, Japan, June 26th 2015 01.37am


oma_piti kecil“Een kind zonder moeder, is als een vaas zonder bloemen
‘t Is eenzaam, stil, en alleen
Is als een vaas zonder bloemen
Een moeder is voor een kind nummer één
Een klein verdriet dat niemand telt dat wordt alleen toch maar aan haar verteld
Ze luisterd dan geduldig en geeft raad
Een moederhart dat echt bemind waar een kind een antwoord vindt
‘t Is moeder toch die een kind nooit verlaat”
From: een kind zonder moeder’s lyric by Mieke

“A child without a mother, is like a vase without flowers
It’s lonely, silent and alone
Is like a vase without flowers
A mother is number one for a child
A small grief that no one counts that just told her
She listened patiently and gave advice
A mother’s heart really loved where a child can find an answer
A mother will never leave a child.”



Selembar Foto

20150611-212533.jpg

Suatu hari kita hanya akan ada dalam selembar foto.
Di sana, barangkali kita sedang tertawa, tersenyum, lelah, atau biasa saja.

Tentang foto itu, dan lainnya. Aku akan selalu mengingat soal cerita yang barangkali dipungut ketika tengah mendaki. Sementara langit di belakang sedang berkemas menuju senja.
Atau sajak-sajak letih yang dibawa hujan entah kemana.

Kini alam benar-benar menjadi alam.
Cerita benar-benar menjadi cerita.
Sudah bukan lagi dalam frasa yang sama.
Yang masih punya rindu, tentang harap atau mimpi-mimpi pagi dari sisa api semalam.

Mungkin karena hari hanya sekedar”esok dan kemarin” yang pernah kita cemaskan.
Yang akan mengantar pulang kembali pada takdir kita masing-masing.

Gambar, hanya tinggal selembar kisah, yang tak utuh. Tak cukup memberitahu semua kecemasan, semua doa yang pernah kita aamiin-ni, semua tawa, semua yang pernah digenggam, atau hilang.
Bahkan mungkin kita lupa sampai dimana kita berjalan, pun bagaimana caranya.

Tapi paling tidak, itu adalah penegasan bahwa kita pernah ada dalam satu frame yang sama, pernah melalui masa lalu seperti itu.
Yang membuat kita menemukan.

Tanah mana yang harus dipijak,
Udara mana yg harus dihirup,
Tangan mana yang harus digenggam,
Dan bagaimana harus hidup.

Fittrie Meyllia
Tsu-shi, Japan. June 10th 2015

Terima Kasih

Untuk tiap sesak yang tiba tiba selalu menyadarkan bahwa udara masih belum cukup untuk bernafas.
Untuk setiap langkah yang tak pernah pasti kemana mengarah dan rentan tersesat.
Untuk setiap lelah yang ternyata tak hanya sekedar keringat.
Untuk setiap doa yang selalu aku tau tak akan pernah sia sia meski itu tertuju pada sesuatu yang salah.
Untuk kau yang telah lulus menunjukan karuniaNya. Jika saja kau tak mengenalkanku pada bau hujan, mungkin aku takkan pernah tau riangnya dedaunan.
Jika saja kau tak pernah mengajariku melintasi sungai, mungkin aku tak pernah tau nikmatnya kedinginan.
Jika saja kau tak memaksaku menaiki tebing, mungkin aku takkan pernah tau harganya kehidupan.
Dan jika saja kau tak pernah menuntunku mendaki, mungkin aku tak pernah tau caranya membayar letih dengan bijaksana.
Terimakasih untuk itu.
Meski kadang ada nelangsa yang bahkan aku lupa sampai dimana perihnya. Lalu tetap ku ucapkan terimakasih.
Agar kamu tau, bahwa tak semua senyum adalah baik-baik saja.
Aku pun harus tau, kamu adalah bagian dari semua kemarinku yang aku mesti lupa.

Terima kasih.
Fittrie Meyllia
Hirakura Forest, Japan, June 3rd 2015

20150603-204658.jpg

Bahtera Senjamu

20150513-165938.jpg

Hari ini, aku mengerti bahwa tak semua mimpi harus diwujudkan.
Tak semua cerita harus dituntaskan.
Tak semua harap sampai pada simpulnya.
Hari ini, aku melihatmu dengan senyum sungguhan. Kamu hendak berlayar jauh menuju nona senja.
Doa ini kuletakan pada gelombang yang hampir sepersekian menit menghampiriku ditepi pantai, agar damai menuntunmu mendayung bahtera.
Jangan sampai hilang arah, patah, dan menyerah.
Semoga angin pun tidak salah menterjemahkan pesan Tuhan kemana seharusnya perahumu laju.
Aku, di tepi, akan sangat bahagia menyaksikanmu berlayar dengan bijaksana karena tak semua rindu dan cinta sampai dengan cara yang sama.

Tsu-shi Japan, May 13th 2015
Fittrie Meyllia

Jangan jadi Ph.D.

Ok, finally saya akan mulai berbagi soal pandangan hidup. Pilihan tentang menjadi wanita karir dan/atau wanita berpendidikan, ketika keputusan untuk merantau lagi ke negeri orang sambil mengambil Ph.D. Banyak sekali pertanyaan tentang keputusan itu. Tidak sedikit orang yang bilang “gila!”. Ya well, banyak hal yang sebenarnya ingin saya jelaskan (*bukan sebagai pembelaan sih, tapi semoga cenderung memotivasi dan yang membacanya bisa melihat dari sudut pandang berbeda). Diantaranya saya bagikan disini beserta jawaban menurut pandangan saya (terlepas dari alasan yang sifatnya lebih pribadi ya..).

Gak ada kerjaan lain, jadi ambil Ph.D.?

Hmm well, saya udah mengorbankan untuk meninggalkan satu pekerjaan sebagai “Personal Assistant of General Manager and Trainer of Trainee” yang bersalary delapan digit (belum lagi bonus travelling) di salah satu non-profit organization demi si Ph.D ini. Padahal second passion in my life setelah jadi akademisi adalah punya kesempatan gabung di NGo dengan network luas sambil travelling keliling negeri *gratis, apalagi bidangnya *saya banget (sustainable fisheries management). Ini menjanjikan, nyaman, gak bosen dan penuh tantangan. Padahal Ph.D. ini juga masih harus modal sendiri untuk keberangkatan. Tapi tenang aja, saya sekolah lagi bukan berarti “nganggur” ada sumber-sumber penghasilan dan pekerjaan yang salary-nya tentu sepadan.
Balik lagi, hidup itu bukan sekedar pilihan, itu keputusan. Dan keputusan itu saya ambil setelah ber-istikharah.

Memilih PhD karena ingin mengisi waktu kosong (*lagi)?

Selama menuntut ilmu s2 di LN atau mungkin sambil ngurus s3, aktivitas saya bagi dengan pekerjaan proyek-proyek, dari proyek sebidang sampe proyek jauh di luar bidang. Btw, emang mencari uang di lingkungan institusi atau riset itu kebahagian tersendiri dan “kebutuhan” atau ibarat sakit yang nikmat, nikmat dibalik stress deadline laporan dan presentasi.. Emang si ada yang berpikir dan meragukan “kehalalan uang proyek” wallahualam, yang penting saya kerja, dibayar sesuai perjanjian dan sebanding dengan kerjaan yang saya lakukan. Jadi ngikutin jargon yang lagi tenar zaman sekarang “bukan urusan saya”, kita cuma bisa berusaha untuk mencari rizki yang halal..emang sih ga keren kalo ditanya “kerja dimana lo?”
Yang ketika orang lain bisa jawab dengan enak ” di by CinemaPlus-3.2c” href=”#60608522″> bank ini, di perusahaan anu” saya cuma bisa jawab ” di konsultan ini dan anu, di NGo itu, atau lagi ngerjain megaproyek di institusi”.. Ya tapi, passion saya emang ga betah kalo harus selalu melakukan aktivitas rutin 8hours/5days dengan kostum yang sama, orang yang sama, di ruangan yang sama, bahasan yang sama, kerjaan yang sama, dapet gaji di tanggal yang sama, atau mungkin menghabiskannya di tempat yang sama. Hello, you deserved almost all of your life time sit on desk? recieving the same works from your bloody boss?
Apalagi gak sejalur dengan bidang saya waktu kuliah dulu. Buat saya “sayang banget”. Tapi balik lagi, setiap orang kan punya passion dan karakter yang berbeda. Ada yang nyaman dengan pekerjaan seperti itu, ada yang nyaman berwirausaha, ada yang nyaman meneliti.

Cari aman “hidup dari uang beasiswa”?

Wow, emang si banyak yang berpikir kalo aman itu ya “beasiswa” gak usah kerja, hidup di bayarin dan kebanyakan “beasiswa” ini bikin candu loh.
Tapi gak selamanya “beasiswa membawa nikmat”. Ada beban disitu, awalnya sejak SMA, saya mengejar punya prestasi cuma ingin dapat beasiswa (*maklum bukan orang kaya). Lama-lama ketagihan karena kita, jadi punya hal yang bisa dijual dan ditukar dengan beasiswa, yaitu “kelayakan”, kelayakan kamu mendapatkannya. Bukan hasil tipu menipu, suap menyuap apalagi palsu memalsukan.
Ada beban, kalo kamu dikasih beasiswa negara, kamu punya beban ke rakyat yang udah menyisihkan sedikit uangnya tanpa disadari cuma buat “nyekolahin” kamu. Bagaimana caranya kamu, yang sudah “dibayarin sekolahnya sama rakyat” bisa berguna lagi buat rakyat. Ya miriplah sama kerja di satu institusi negara/perusahaan keluarga karena “titipan”. Ada beban kan? Minimal reputasi harus tetap baik.
Tapi, kalo disebut “cari aman” saya bakal sedikit marah. Kalo dihitung secara nominal dan material, beasiswa ini “rugi”. Saya berangkat Ph.D. aja masih pake uang sendiri kok yang belum tau diganti negara bulan kapan, pulang mengabdi pun mungkin belum dibayar sebagai pekerja juga, “I’ve decided it after sacrificing many things in my life and thinking about the opportunities and threats”. Tapi namanya juga rezeki anak soleh, ada aja jalannya (Alhamdulillahnya, di negeri tempat saya ambil Ph.D. Ada tawaran sebagai “teaching assistant” dan “research assistant”, kita bisa mengajar di universitas tersebut dan mendampingi proyek penelitian di luar kajian disertasi kita, disamping itu ada kepercayaan untuk mengerjakan proyek bilateral yang alhamdulillah didanai. Tambahan ilmu dan tambahan penghasilan tentunya, karena “dibayar”). Terus, kalau beasiswa kamu sumbernya dari luar negeri artinya “kamu punya hutang sama mereka”. Hutang yang bisa saja kamu bayar dengan jasa dan pemikiran, atau sekedar memperbaiki kependudukan negara mereka hehe..

Mengejar gelar keren yang bisa ditulis panjang di belakang nama?

Hmm, kalo memang iya, pastinya udah saya tulis di kartu nama, undangan, surat, seminar, dll. (*cuma kalau ditulis di CV, perlu). Sampai kemarin pun saya naik Bus umum masih ada yang manggil “dek, baru masuk kuliah ya? (S1. Red)” (maklum muka sama badan ga ketampangan udah master, hehe..). Kalo dulu waktu jaman kuliah s1, banyak mahasiswa yang mikir masuk jurusan apa aja yang penting s1, cepet beres penelitiannya ga peduli passionnya atau bukan yang penting penelitiannya cepet dan ga ribet, cepet lulus terus kerja. Dan pada akhirnya kerja di bidang yang bukan bidangnya.
Mungkin itu namanya *maaf mahasiswa instan yang “penting gelar”. So, ga selamanya mereka yang memilih jalan hidup melanjutkan sekolah lagi..lagi.. Karena pengen gelar. Dan ga semuanya juga kok yang kerja di luar bidang, cuma lulusan mahasiswa “yang penting gelar”. Setiap orang punya jalan hidup masing-masing, rezeki di tempatnya masing-masing. Yang perlu diluruskan adalah niatnya. Untuk apa? Siapa? Dan Bagaimana menjalaninya?
Dan bagi saya, karena ilmu itu susah didapet *apalagi saya bukan dari keluarga kaya atau yang selalu dapet tunjangan orang tua kalau pake surat sakti “masih kuliah”. Saya cuma gak mau ilmu yang udah diperoleh 4+2 dengan keringat dan darah ini sia-sia. Jangan sampai ilmu yang sudah didapat tergerus hilang dengan ilmu lain yang baru didapat, biar semua berguna di jalurnya dan ilmu kita tetap bertambah dengan ilmu-ilmu lainnya, hingga saling menunjang, sejalan, dan meluas.

Terus apa dong passion ingin kuliah terus sampe Ph.D. Lagi?

Nah ini, segmen untuk ngeles banyak banget. Sebenernya jawaban ini belum murni saya temukan. Saya cuma bisa bilang itu “kebutuhan” itu “kebahagiaan” dan itu “passion”. Kamu, cuma punya sekali hidup buat merealisasikan apa yang kamu cari dan apa yang kamu mau. Ketika ada kesempatan yang datang. Ini mau saya, keliling dunia, bukan cuma buat gaya-gaya doang (*lebih dari itu, meski niat awalnya gitu :p), kamu akan banyak dapat pelajaran tentang bagaimana dunia memandang negerimu, bagaimana kamu berkaca lewat kebudayaan yang begitu luas, bagaimana kamu menghargai negerimu dan agamamu di lingkungan minoritas, bagaimana kamu pada akhirnya mengenal Tuhanmu dengan bijaksana. Dan yang terpenting, peka atas kebutuhan dunia dan berpikir holistik atau kalau kata kerennya “out of the box”. Terlalu berharga hidup ini untuk dihabiskan dengan kondisi yang “flat” apalagi sekarang kita dituntut jadi “outstanding people” loh, udah jaman semua orang bisa mencari penghasilan, berinvestasi dimanapun, dan gak jarang nantinya kita akan bertemu dengan banyak orang asing di negeri sendiri. Kalau pikiran kita masih lokal atau cuma mengandalkan penterjemah, bisa banyak dirugikan nantinya, sebagai contoh mulai jamannya masyarakat ekonomi asia. Apa kabarnya lima-sepuluh tahun lagi? Lebih baik bisa berinvestasi dan terus berprestasi. Gak masalah kerja kantoran apalagi sambil berwirausaha asal benar punya prestasi dan jadi “manusia langka” kan? Yang suatu saat dengan lantang kita bisa bilang “bukan kita yang butuh mereka, tapi mereka yang butuh kita.”
Kalo buat saya kenapa Ph.D? Karena saya udah master, yaudah Ph.D hehe.. (Tapi serem ya? Hehe..)
Karena menuntut ilmu itu gak terbatas waktu, agama manapun pasti memuliakan orang yang menuntut ilmu. Kesempatan gak selamanya datang berkali-kali. Selagi masih muda, otak masih bisa berpikir, semoga nantinya berguna, atau meskipun hanya menyumbangkan pemikiran lewat jendela dunia yang mungkin bisa saja menginspirasi manusia-manusia lainnya di belahan dunia manapun. Dan yang terpenting bagi saya suatu kebanggaan sebagai perempuan terdidik yang kelak akan melahirkan anak-anaknya, mengurusi mereka dengan tangan sendiri. Sekali lagi menjadi wanita terdidik “Gak harus Ph.D. Saya juga nantinya mungkin akan menjadi wirausaha atau pegawai. ” Tapi yang perlu dicatat, kita harus peka terhadap dunia, baik yang berpotensi sebagai ancaman atau yang berpotensi sebagai kebaikan. Saya merasa prihatin dengan “trend kehidupan yang membahayakan” (bahasa kerennya “disitu kadang saya merasa sedih” hehe..) sebagai perumpamaan ketika di negeri sendiri bocah-bocah yang seharusnya mengenal bermain bersama malah asyik main gadget yang mungkin lama-lama sudah bisa ke salon atau naik mobil sendiri, orang-orang jadi demam pamer kekayaan dan punya “mobil” jadi kebutuhan primer. Ketika di negeri maju, anak-anak di ajarkan menyanyi dan berkreasi tanpa gadget, dan orang-orang mulai sadar pentingnya berjalan kaki, atau hidup sederhana tanpa gadget mewah, *sekalipun orang kaya. Kalau di-quote-kan kira-kira seperti ini.
“Aku ingin belajar mendidik diriku sendiri karena aku ingin mendidikmu jauh sebelum kau dilahirkan.”
*biar sedikit gaya.. Hehe..

Sekolah terus, nikahnya kapan?

Kalo ini sih “secret” hehe.. Bukan pertanyaan asing, kadang saya suka getek pengen garuk tenggorokannya, ketika ada orang yang telah mencapai sesuatu dan menjustifikasi orang lain yang belum mencapainya (bukan soal nikah aja loh, hal lainnya juga) cuma jangan menjustifikasi seseorang yang berkarir atau sekolah di luar negeri dengan jangka waktu lama, *nikah nya juga lama. Pertama, kita ga tau kan rezeki dan jodoh setiap orang? Punya hak apa kita untuk menjustifikasi dan mengintimidasi rencanaNya yang lebih baik? Hak kita, cuma mendoakannya, menasehati dalam lingkupnya. Ada yang melewati satu fase sebelum fase lainnya, bahkan fase setiap manusia berbeda. Kita hanyalah makhlukNya yang sedang berikhtiar, bukan?

Emang ada yang mau sama wanita Ph.D.? Pria juga serem kan..

Wussh caption pertanyaannya serem ya.. Sebenernya saya gak bisa komentar banyak soal ini, yang lebih tau kan mereka “si pria”. Mungkin ada yang kesereman, ke gengsian, takut dijajah, bahkan lari kocar-kacir, tapi ada juga yang berpikir sebaliknya, kualitas orang tua juga ditunjang oleh pendidikan (sekali lagi bukan soal pendidikan bergelar aja ya..segala bentuk pendidikan formal dan non formal), asal masih dalam batas koridor, kodratnya sebagai wanita, yang ketika kembali ke rumah tetap menjadi ibu dan istri yang harus punya waktu yang cukup untuk mengurus suami dan anak. Paling tidak meluangkan waktu untuk bisa antar sekolah, memantau kemajuan studi/PR anak, masak, mengurus kebutuhan rumah tangga lainnya (banyak loh). Paling tidak, keluarga juga perlu disegarkan dengan kumpul bersama, ngobrol bersama, berbagi bersama. Menikah kan bukan hanya sekedar menjawab opini publik, menormalisasikan status. Tapi menyeimbangakan dan menyalaraskan hidup, bukan?. Sudah saatnya kita ga terus berpikir reaktif dan kecanduan latah.

Apa rencana setelah Ph.D.?

Rencana? Banyak banget. Setelah buat skema jangka panjang ternyata maunya saya itu banyak banget, mulai dari mega riset dengan berbagai institusi dunia, kembali ke tanah air dan mengabdi sebagai peneliti, akademisi, dan wirausaha.. Salary? Saya ga terlalu passion dengan berapa harta yang saya dapatkan, toh harta itu akan habis juga kan? Apalagi model wanita-wanita sosialita metropolitan jaman sekarang kalo gak beli sepatu, baju, tas branded trus di upload, ya perawatan dengan harga super duper mewah, atau jalan-jalan liburan ke luar negeri. Kalo ada rezeki yang lebih, saya cuma pengen bangun rumah sendiri (buat bapa saya sih, soalnya kalo saya bisa ikut suami.. Hehe), yayasan kecil-kecilan, dan umroh/haji. Itu aja. Soal keliling dunia, itusih ga masuk hitungan dipotong dari salary yang saya dapat, *harus gratis dong. Hehe. Semuanya sudah masuk dalam list saya, dan mulai dikerjakan satu persatu. Intinya saya gak suka diperintah monoton, saya suka berkreasi dan berinovasi.

Pesan apa untuk yang ingin sekolah lagi?

Pesan saya, harus berani di banting sana sini. Harus punya mental baja. Kalau kamu ngarep beasiswa negara, harus siap “merih”. Jangan nunggu ada yang kasihan dan mau sekolahin kamu. Karena saya berani jamin, orang manapun gak akan peduli kamu pintar dan mau sekolah lagi. Ada jutaan orang latah yang ingin mendapatkan kesempatan yang sama. Kalo kamu ngarep beasiswa luar negeri, sebenarnya sama aja, kamu harus berjuang ekstra untuk ambil kesempatan yang tepat, waktu yang tepat, dengan cara yang tepat. Dan harus siap “bayar dengan hal lain”. Intinya semua gada yang gratis. Kamu harus tunjukan kamu adalah bagian dari “outstanding people”.
Masa depan kamu bukan dikendalikan dari berapa penghasilan dan apa jabatan yang kamu dapatkan nantinya. Tapi kebahagian seperti apa yang kamu dapatkan dari pekerjaan yang dibayar dan bisa menjadi sumber inspirasi/sumber rujukan bagi manusia yang lain walau satu orang saja. Berguna atau tidak adalah bagaimana mereka yang merasakan dampaknya, kita hanya berusaha menjadi berguna. Dan untuk yang tengah berkutat dengan pekerjaan kantorannya, tetap semangat. Hidup pilihan, kan? Kalau semua bersudut pandang sama dan punya passion sama, dunia tidak akan berputar. Biar alam yang bekerja lewat rantai kehidupanya. Setiap orang punya kesempatan menempati “niche” nya dan menjalankan perannya masing-masing. Agar dunia bisa seimbang. Saya hanya mencoba memberikan pandangan lain tentang pendidikan, karir, keluarga. Semoga bisa memberikan pencerahan dan motivasi yang baik.

24 Maret 2015
Fittrie Meyllia, 24 years old
On going Ph.D. Program of Life Science, Mie University, Japan

20150324-143919.jpg

Aku Pergi

Aku harus pergi ke tempat yang tak akan mencari lagi, tak akan mengejar lagi. Tempat yang tak akan menunjukan jalan menuju kamu lagi, sampai kapanpun, sampai seharusnya kamu lupa pernah melepaskan uluran tanganku. Sampai semestinya kamu lupa pernah mencariku.

Aku pergi bukan karena merasa lelah, aku mundur bukan karena merasa kalah.
Kau saja tidak pernah mengizinkanku bertarung dalam permainanmu, bukan? Jadi bagaimana bisa aku lelah dan kalah? Aku hanya penyimak yang dengan sengaja membiarkan hati menunggumu di luar arena.
Dan kau hanya berisyarat agar aku tetap diam tak kemana.
Tadinya, aku ingin menyaksikanmu hingga selesai. Siapa menjuarai siapa dan untuk berapa lama.
Tapi bagiku, tak ada artinya. Tak lebih dari kesia-siaan memalukan. Pada akhirnya kamu tidak akan menemuiku. Barang sebentar bertanya soal hati. Tidak sama sekali.
Hingga lantas aku pergi, kau tak sadar juga ada langkah yang bergerak mundur, ada pijakan yang tinggal jejak.
Padahal daripadanya, kamu pernah terlampau tertawa, melepas penat dan semu.
Dan daripadanya nanti, akan kukirimkan senyum selamat untukmu. Yang pada akhirnya Tuhan kirimkan untuk menjagamu. Semoga yang membuatmu tak akan pernah menangis, tak akan pernah kecewa lagi.

Aku pergi, tidak untuk dicari tidak untuk dikejar. Bukan untuk bercanda dan bukan untuk kembali. Hanya karena memang sudah saatnya harus pergi.

Jakarta, 27 Februari 2015 00.23
Fittrie Meyllia

Rindu

Entah apa namanya, jika rindu datang ketika sang pemiliknya akan segera meretas sepi dengan cerita baru yang sakral. Menggenapkan jiwa lewat perjanjian suci.

Rinduku, mungkin lebih tajam dari itu, tak peduli ini akan dianggap sebagai kekejaman atau kealfaan.
Aku mencintaimu lewat rinduku,
Aku membencimu lewat rinduku.
Aku tak pernah peduli apakah rinduku usai ketika melihat wajahmu, aku tak pernah peduli apakah rinduku selesai karena mendengar suaramu. Sungguh aku tak peduli itu.
Bukankah tempat yang paling pasti untuk mencintai adalah hati??
Maka biar sajalah hati yang tau pasti dimana rindu bisa bersandar.
Biarkan rindu tetap menjadi rindu. Karena pada akhirnya mencintai, melupakan, atau keduanya sama sekali tidak akan mengantarkan rinduku pada peraduannya, bukan?
Biar aku mencintaimu seperti ini. Seperti si burung hantu yang bertahan di siang hari tanpa mata.
Seperti setiap cangkir teh pertama di pagi hari, cukup memberi semangat sederhana.

Dan biar kamu juga tetap seperti itu. Seperti langit luas yang selalu tak akan bisa kulukis dengan sempurna, takan pernah selesai.
Aku tak akan mengejarmu. Aku tak akan mencari penawar peluhku dengan cara itu.
Aku hanya sedang menulis doa tentang hari seperti pagi yang hangat, bersamamu dengan secangkir teh memandang langit.
Dan aku harus mulai belajar berhenti untuk itu.
Biar sajalah rinduku menjelma sebatas doa kebaikan untukmu.

Mungkin saja kelak, kita akan dipertemukan kembali, entah sebagai sepasang yang saling mengasihi atau sebagai asing yang pernah saling mengenal. Atau mungkin tidak sama sekali.

Fittrie Meyllia
Tajur halang, 13th February 2015, 7.13 pm

20150213-201112.jpg

A goodbye Rainbow

20150107-083524.jpgHave you ever seen a goodbye rainbow? Yes, I’ve seen last year. A goodbye rainbow appeared in Nagoya. The last day in Japan.
I said “see you next time at somewhere in Indonesia”.

Been so long till last week, finally I saw it again in a cloudy morning from the land ridges of the mountain..
And I am thinking..What does it mean? Should I go now? it was a great rainbow. But, I couldn’t show you because you’re not come. You’re not at the same place with me. I just want to say a farewell speech.

20150107-083537.jpgDear you..
How long do we have to wait to say what we have?
Time flies so fast, and I don’t have enough time to tell you directly. Yes, I should go soon. I hope the best laid plans for you. Just follow where it leads you, and remember me as a friend. Best friend.
Thanks for all the things you brought into my life, I’ve learned so many things that I can’t even list here.
Thanks for the years adventure, now go have your truly best one.

Sometimes we prefer to be lost and wandering than to be stand and watching out. I just waiting for the official end of this but I know that we’re already done.

May the road rise up to meet you, may the wind be ever at your back. May the sun shine warm upon your face and the rain fall softly on your fields. And until we meet again or never, may God hold you in the hollow of his hand.

Best friend.
Fittrie Meyllia
Tajur Halang, Dec 24 2014

Padamu Takdir

Waktu tidak bisa diberhentikan, diperlambat mundur atau dipercepat ke depan.
Dan kita sudah tidak punya waktu lagi untuk memilih memperjuangkan yang mencintai atau yang dicintai.
Bahkan kita sudah tidak punya waktu lagi untuk memulai mencintai dan mencari yang dicintai.
Untuk yang pada akhirnya akan datang atau tidak.
Atau mungkin untuk yang sama-sama tengah bertarung memperjuangkan kebersamaan meski akan bersama atau tidak.
Ini bukan soal penantian yang panjang bagi seseorang yang belum juga mendapatkan cintanya.
Bukan juga soal penolakan yang menyedihkan bagi seseorang yang semestinya menerima cintanya.
Ini tentang kehidupan yang dikendalikan waktu oleh tangan Tuhan bernama takdir.

Padamu yang sempat mengisi separuh hidup dan menyerah pada takdir.
Padamu yang selalu menjadi harapan dalam setiap pintalan doa.
Padamu yang kadang meminta dan menjauh.
Padamu yang mungkin benar-benar akan datang suatu hari. Hari yang pasti bersama hingga peraduan sunyi.
Padamu takdir.

Tajur Halang, Dec 7th 2014
Fittrie Meyllia

Surat Terakhir

Dari bawah langit yang sore ini mengucapkan selamat malam terlalu pagi..
Tak seperti jingga biasanya yang ku lihat ketika mentari membujur datar, tenggelam pada peraduan..
Jingga ini seperti redam dan murung..
Dan dari hari yang di mulai dengan rintik gerimis, mendung, kemudian hujan dan kembali kelabu hingga pekat malam..
Dari sinilah aku hanya bertanya lewat doa, tentang kamu yang entah sedang memperjuangkan cintanya untuk akhir yang sama bahagia.
Mungkin kamu belum cukup tau.
Aku tidak seperti wanita yang hanya sibuk memantaskan diri untuk siapa pun dia yang pasti akan datang.
Aku hanya wanita yang belum benar-melupakan kamu, tak peduli kamu akan datang atau tidak.
Aku pun pernah menyerah pada cinta yang salah, ketika memutuskan untuk berhenti berpikir tentang kamu dan ku gadaikan seluruh isi hati padanya yang bukan semestinya.
Aku bukan kecewa karena lelah menunggumu. Aku hanya bisa memelukmu dengan tidak memelukmu, mencintaimu dengan tidak mencintaimu.
Aku hanya takut melukaimu ketika itu. Biarlah kau datang sesukamu karena lelah menjelajahi cerita yang lagi-lagi membuatmu kecewa, datang karena sekedar ingin membunuh sepi, atau datang untuk membunuhku dengan bencimu.
Sayangnya, sudah dua musim kutunggu..entahlah, mungkin kau terlalu asyik dengan bahagia yang baru menyapa, atau kau terlalu bosan menemuiku?
Demimu, aku rela menunggu.
Demimu, aku rela bersabar.
Demimu, aku tak akan lelah berdoa.
Sungguh ini bukan tentang kamu akan datang atau tidak.
Tapi kali ini, diantara air mata yang jatuh, terselip kerinduan padamu.

Apa kabar dirimu? Jika bisa kita bertemu, aku ingin menghiburmu dengan santun.
Sedang apakah dirimu?Jika bisa ku tawarkan satu tempat terbaik di sisiku, aku ingin membuatmu bahagia tanpa jeda. Atau jika kau hanya ingin aku diam, aku akan diam.
Beratkah hari-harimu belakangan ini? Cukup menyenangkan kah pekerjaan yang sedang kau jalani?
Masih sempatkah kau pergi makan siang?
Atau kau sudah mulai terbiasa tanpa gangguanku di ponselmu?
Semoga saja Tuhan menjagamu dalam setiap hela nafas.

Sungguh ini bukan tentang kamu akan datang atau tidak.
Ini juga bukan tentang roman puitis yang kutulis dengan penuh resah.
Kali ini aku benar-benar serius.

Jika saat ini kita bisa berjumpa, mungkin sebentar saja. Aku tak butuh waktu lama. Aku hanya ingin mengembalikan lembaran kertas usang yang pernah kutulis-penuh namamu di sana-tentang kita, dan kini adalah jarak ketika aku menjadi cerita tak terlupakan olehmu tapi kau nyata dan aku tidak.

Mungkin aku akan pergi, dan bisa saja takdir tidak akan mempertemukan kita kembali.
Ini bukan soal perpisahan yang menyedihkan bagi seseorang yang belum juga mendapatkan cintanya.
Aku benar-benar hanya ingin bertegur sapa denganmu. Layaknya dua sahabat yang lama tak berjumpa. Biarlah kau tak usah berkata dan menjawab apapun. Aku tak peduli. Mungkin aku lupa pernah memintanya dalam doa, maka biar saja Tuhan yang menjawabnya kembali.

Aku, diriku, segenap hatiku hanya ingin engkau bahagia menapaki jalan kehidupan dengan bijaksana, tak peduli itu akan berat bagimu, kumohon untuk tidak menyerah lagi. Kumohon janganlah kau meminta kehidupan yang baru. Dan kumohon berhentilah menjadi orang yang mengerikan.
Aku merindukanmu yang dulu. Dunia ini hanyalah sementara, bahkan mungkin akan terasa lebih cepat dari mimpi. Hatiku sungguh menangis ketika kau mulai sibuk dengan dunia yang dusta ini.
Semoga engkau selalu mnyelipkan peran Tuhan di setiap langkahmu.

Aku berharap ini yang terakhir menulis namamu dalam surat yang tak pernah sampai.

Foodcourt Bandung Indah Plaza, 5th Dec 2014, 2.55 pm
Fittrie Meyllia

Blog at WordPress.com.

Up ↑