Rindu

Entah apa namanya, jika rindu datang ketika sang pemiliknya akan segera meretas sepi dengan cerita baru yang sakral. Menggenapkan jiwa lewat perjanjian suci.

Rinduku, mungkin lebih tajam dari itu, tak peduli ini akan dianggap sebagai kekejaman atau kealfaan.
Aku mencintaimu lewat rinduku,
Aku membencimu lewat rinduku.
Aku tak pernah peduli apakah rinduku usai ketika melihat wajahmu, aku tak pernah peduli apakah rinduku selesai karena mendengar suaramu. Sungguh aku tak peduli itu.
Bukankah tempat yang paling pasti untuk mencintai adalah hati??
Maka biar sajalah hati yang tau pasti dimana rindu bisa bersandar.
Biarkan rindu tetap menjadi rindu. Karena pada akhirnya mencintai, melupakan, atau keduanya sama sekali tidak akan mengantarkan rinduku pada peraduannya, bukan?
Biar aku mencintaimu seperti ini. Seperti si burung hantu yang bertahan di siang hari tanpa mata.
Seperti setiap cangkir teh pertama di pagi hari, cukup memberi semangat sederhana.

Dan biar kamu juga tetap seperti itu. Seperti langit luas yang selalu tak akan bisa kulukis dengan sempurna, takan pernah selesai.
Aku tak akan mengejarmu. Aku tak akan mencari penawar peluhku dengan cara itu.
Aku hanya sedang menulis doa tentang hari seperti pagi yang hangat, bersamamu dengan secangkir teh memandang langit.
Dan aku harus mulai belajar berhenti untuk itu.
Biar sajalah rinduku menjelma sebatas doa kebaikan untukmu.

Mungkin saja kelak, kita akan dipertemukan kembali, entah sebagai sepasang yang saling mengasihi atau sebagai asing yang pernah saling mengenal. Atau mungkin tidak sama sekali.

Fittrie Meyllia
Tajur halang, 13th February 2015, 7.13 pm

20150213-201112.jpg

Leave a comment

Blog at WordPress.com.

Up ↑